H
|
ari ini adalah
hari ke-7 sejak keputusanku untuk pulang ke kampung halamanku di Jogja. Sudah 5
tahun ini aku pergi merantau ke Surabaya
untuk bekerja. Jogja ternyata selalu membuatku kangen. Kangen berkumpul dengan
keluarga, kangen angkringan, kangen masyarakat, dan kangen atmosfer kampungku. 5
tahun ternyata tidak membuatku tetap bertahan di Surabaya . Aku selalu ingat kampungku. Aku
tinggal memang di sebuah kampung kecil di pelosok selatan Jogja. Kampungku
tidaklah luas, hanya berpenduduk kurang dari 100 kepala keluarga. Dan di kanan
kiri terhampar area persawahan yang luas. Di sini Masih banyak orang menggembala
sapid an menggembala kambing. Dulu ada satu tempat yang selalu ku datangi
setiap sore. Di pematang sawah pinggir kampungku.
Sore itu ku duduk diteras rumah.
Ditemani sebatang rokok, segelas teh dan satu kaleng roti kering yang selalu
disiapkan ibuku di meja tamu. Kusesap rokok dalam-dalam, dan kuhembuskan perlahan, kuingat lagi kenangan-kenangan
semasa kecil. Dulu Setiap sore aku selalu bermain di pematang sawah bersama
teman-teman. Dengan menikmati indahnya suasana sawah, melihat tetanggaku
menggiring bebek atau menuntun sapi dan kambing peliharaannya pulang. Kami
sering melontarkan canda tawa, tetanggaku pun ikut bercanda ria bersama kami.
Suasana saat itu begitu menyenangkan. Tidak terasa ternyata hari sudah agak petang.
Akhirnya kami pulang. Di perjalanan pulang tiba-tiba telinga kananku mendengar
suara aneh dari arah timur. Aku menoleh kearah datangnya suara itu. Aku
berhenti sejenak mendengarkan suara itu. Ternyata suara Marching Band. Aku heran.
“Senja-senja begini masih ada suara Marching Band. Siapa yang memainkannya? Tapi, itu benarkan suara Marching Band?” kataku dalam hati.
“ah mungkin anak
TK yang sedang latihan” hatiku menjawabnya sendiri
Kemudian aku
melangkah sembari berhenti dan suara itu masih terdengar di teligaku. Sedangkan
teman-temanku sudah sampai di pinggiran kampung.
“Hey, Prasetyo! Sedang apa kamu di
situ. Ayo pulang.” kata Doni.
“Eh kawan! Kalian mendengar suara
itu tidak?” kataku waktu itu
“Suara apa Pras?” kata Doni dan
Pramono.
“Suara itu.” kata ku
“Itu apa Pras? Ayo pulang saja.
Aneh-aneh saja kamu itu”. kata Doni.
“Aku mendengarnya juga.” kata
Bastian.
“Iya kan Ian. Kamu dengarkan ? Suara kayak orang
nabuh beduk yang mirip Marching Band.”
kata ku.
“Maksudnya aku mendengar suara
jangkrik ini. Hahahahaha……” kata Bastian bersama teman yang lain sambil
menertawakan aku
“Wah kamu itu, itu benar suara Marching Band.” kata ku
“Mana? Kita itu tidak mendengarnya
Pras. Kamu pasti mengada-ada.” kata Doni.
“Benar tadi jelas sekali suaranya,
dari timur sana
suaranya.” kata ku.
“ Jangan percaya teman-teman.
Prasetyo itu kan
suka mengada-ada kerjaannya. Kalau
dipikir ya, masak senja begini ada suara Marching Band. Mana mungkin. Kalaupun
ada, kurang kerjaan saja itu orang.” kata Bastian.
“Iya nih, ada-ada saja si Prasetyo.
Ya mungkin saja orang gila dari kampung sebelah yang setiap hari memakai
seragam dan membawa drum itu loh?
Jadi disangkanya Marching Band
beneran. Hahahah….” kata Gandung yang membela Bastian.
“Iya benar sekali Gan. Hahaha …
Prasetyo. . Prasetyo.” kata Bastian
Semua teman
menertawakan Prasetyo lagi di pinggir kampung itu.
“Terserahlah kalian mau bilang apa. Tapi
benar aku tidak bohong mendengar suara Marching
Band.” jelas ku
“Coba ucapkan suaranya bagaimana?”
pinta Doni.
“Suaranya itu begini dung..dung..trinting..dung jeeessss.”
kata ku
“Hahaha dung jess apanya? Lho benarkan Prasetyo itu gila teman-teman jadi
mirip sama orang gila sekarang.” kata Bastian.
“Iya benar ini, Prasetyo gila”. kata
semua teman.
“Benar teman-teman. Demi Tuhan.”
Kataku
Senja itu semua
teman tidak mendengar dan tidak percaya dengan kata-kataku yang mengatakan
adanya suara Marching Band.
Kini hari mulai petang. Sang mentari
sudah tak terlihat lagi. Dengan bersamaan hewan malam mulai menampakkan
wujudnya. Hari menjadi sunyi.
“Sudah. Ayo pulang.” Kata Doni.
“Ya.” Kata ku
Kemudian aku menyusul
teman yang lainnya dan akhirnya pulang ke rumah masing-masing.
Hari pun berganti. Pagi berganti
siang, siang berganti sore, dan mulai senja lagi. Bahkan, setiap senja aku
pergi ke sawah itu untuk sekedar duduk-duduk di pematang sawah. Aku pergi
sendirian ke tempat kemarin saat bersama
teman-teman. Seperti sebelumnya, ku menikmati senja di persawahaan dan selalu
saja aku melihat tetanggaku menuntun sapi kambing peliharaannya pulang. Aku
duduk bersila di pematang sawah itu. Ku sambut angin sepoi-sepoi yang agak
dingin merasuk sampai tulangku.
Saat di pematang sawah ini aku
mempunyai kebiasaan yang selalu aku lakukan. Aku termenung. Sayup-sayup selalu
saja aku mendengar suara Marching Band
itu. Pertamanya aku pikir anak TK atau
SD yang sedang latihan. Sempat aku mencari arah suara itu. Semakin ku cari
semakin menjauh suara itu. Kemudian lenyap tidak terdengar lagi. Awalnya,
mendengar suara itu bulu kudukku berdiri. Tetapi, lama-kelamaan justru suara
itu yang setiap saat aku nantikan. Detik demi detik, menit, jam berlalu dan
sampai gelap tidak lagi aku mendengar suara itu. Entah kenapa aku menjadi
kangen dengan suara itu. Bersamaan dengan lenyapnya suara itu, dari belakang
aku dikageti temanku, Pramono dan Doni
“Hey Prasetyo!! Lagi apa kamu di
sini?? tanya Doni.
Aku menoleh saja
ke arah Doni tanpa kata yang keluar dari mulutnya. Dan dia kembali menolehkan
kepalanya ke arah datangnya suara Marching
Band itu.
“Kamu di sini sendirian punya
masalah atau masih dengar Marching Band
katamu kemarin, Pras? Kalau punya masalah ceritalah siapa tahu kita bisa bantu
ya.”
“Tidak punya masalah kok Pram. Aku
baik-baik saja. Cuma setiap senja aku masih mendengar suaranya tapi waktu
petang dia lenyap.” Kata ku.
“Oh begitu, ya sudah besuk saja kita
tanyakan pada kakekku saja. Beliau kan
orang serba tahu mungkin beliau bisa menjelaskan ini semua.”kata Pramono.
“Ya mungkin saja.” Kata ku
“Iya. Sekarang sebaiknya pulang
sudah petang ini. Nanti ada yang mencarimu lagi.” Nasehat Pramono.
“Yuk kita pulang.” Ajak Doni
“Wah dari kemarin perasaan kamu ajak
pulang terus, Don. Petang-petang takut ya.” Kata ku
“Hehe..tidak apa-apa Pras. Kalau
kamu Pras, sendirian di sawah mirip orang-orangan sawah. Diam saja mending
kalau sambil mengusir burung atau apa begitu. Kamu tidak eh. Hahaha..”ejek
Doni.
Mereka bertiga
bercandaan bersama sepanjang perjalanan pulang.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Keesokan harinya aku, Doni, Bastian,
Gandung, dan Pramono sepulang sekolah mampir ke tempat rumah kakek Pramono.
Mereka ingin menanyakan kejadian yang kualami yaitu mendengar suara Marching Band setiap hari di senja hari.
“Assalamu’alaikum.” Kata Pramono
sambil ketuk pintu.
“Wa’alaikumsalam. Eh nak Pramono
sama teman-temannya. Ada
apa ini nak.”kata kakek Cokro sembari membukakan pintu.
“Tidak ada apa-apa kok Kek. Cuma mau
tanya sesuatu.”kata Pramono.
“Ya, ya silahkan apa.” Kata kakek
Cokro.
“Ini teman aku, Prasetyo setiap
senja kok mendengar suara seperti Marching
Band. Kira-kira itu benar suara Marching
Band apa hanya halusinasi ya Kek.”kata Pramono.
“Oh begitu. Memangnya ceritanya
bagaimana nak Pras? Coba cerita kakek mau dengar.”kata Kakek Cokro.
“Begini Kek, setiap senja itu saya
mendengar suara itu tadi. Saya itu mendengar jelas sekali. Saat saya mendatangi
suaranya itu, dia melirih dan sebaliknya saat saya kembali atau menjauh dia
terdengar jelas lagi. Dan, saat kami bermain bersama di pematang sawah itu,
mereka tidak mendengarnya Kek, hanya saya saja yang mendengar.”
“Biar Kakek jelaskan, suara yang nak
Prasetyo ceritakan itu memang ada tetapi itu adalah suara mistis. Siapa pun
yang pernah mendengar suara itu akan merasa berat meninggalkan Jogja. Sudah
banyak orang-orang di kampung ini yang mendengarnya dan salah satu dari mereka
ada yang bercerita bahwa enggan sekali dia meninggalkan Jogja. Mungkin kamu nak
Prasetyo jika pergi dari kampung ini pergi dari kota Jogja, kamu akan terasa kangen atau
ingin sekali kembali ke sini.” Jelas Kakek Cokro.
“Oh begitu ya Kek. Terima kasih
penjelasannya.” Kata ku
Akhirnya aku
pulang bersama teman yang lainnya percaya.
“Hei pras, sudah
magrib ayo masuk” teriak ibuku sambil menepuk pundakku.
Sejurus kemudian
lamunanku buyar. Aku bergegas masuk ke dalam rumah, kemudian ibuku menutup
semua pintu dan jedela.
0 komentar:
Posting Komentar